YOGA: Suatu Studi dan Praktek

Sumber : mayapadaprana

YOGA: Suatu Studi dan Praktek

Transformasi-diri dan pertumbuhan spiritual merupakan konsep penting dalam filsafat agama manapun. Transformasi-diri dan pertumbuhan spiritual juga merupakan konsep praktis, karena realisasinya melibatkan pengintegrasian dan pengharmonisan aspek emosional, mental dan spiritual dari hakikat kita. Salah satu cara yang dipilih oleh banyak orang pada transformasi-dalam/Inner transformation adalah melalui displin yoga.

Di masa ini banyak orang yang penuh pertimbangan berminat mempelajari berbagai bentuk yoga dan merasakan hasrat mendalam untuk menemukan ketenangan-dalam/Inner peace atau mencapai pertumbuhan spiritual. Jadi mari kita lihat lebih jelas apakah yoga ini, apa artinya, apa saja yg dilakukannya, dan bagaimana kita mempraktekkannya sebagai jalan menuju pemenuhan-pemahaman-diri/Full Self Realization.

Apa itu Yoga?

Kata “Yoga,” berasal dari terminologi Sansekerta seperti halnya “yoke” dalam bahasa Inggris berarti “menyatukan” dan mengimplikasikan persatuan aspek pribadi kita dengan Sumber Ilahiah darimana kita berasal. Jadi Yoga dapat diartikan sebagai transformasi hakikat pribadi kita agar lebih responsif terhadap Diri-dalam/Inner self, dan transformasi ini akan mengarahkan kita pada pencapaian kebersatuan kesadaran-diri (at-one-ment) dengan esensi ilahi atau
spiritual: Prinsip Yang Maha Tunggal dalam semesta. Yoga mengacu pada penyatuan diri yang lebih rendah dengan Diri yang lebih tinggi dan
juga pada cara-cara untuk mencapai penyatuan tersebut. Jadi Yoga merupakan studi mendalam sekaligus merupakan disiplin pragmatis.

Unsur apa saja yang dilibatkan dalam Yoga?

Ada berbagai sistem yang berbeda dalam mempelajari yoga, tapi kesemua metodenya melibatkan disiplin-diri dan penjelajahan-diri.
Semua sistem ini mengenali keabsahan pelatihan dasar tertentu :
pengendalian tubuh melalui postur dan pernafasan yang tepat;
pengendalian emosi dan pikiran;
meditasi dan kontemplasi. Dalam tiap pelatihan yoga unsur-unsur esensial tadilah yang dilibatkan.

Kebanyakan praktisi yoga menganggap Yoga Sutra dari Patanjali sebagai buku pegangan yang paling penting. “Delapan anggota” atau delapan aspek yoga, yang digarisbawahi oleh Patanjali dipertimbangkan sebagai panduan seluruh bentuk pelatihan yoga. “Anggota” yang pertama dikenal sebagai “yama” atau pelatihan pengekangan-diri dan yama yang pertama disebut “ahimsa” atau tidak menyakiti makhluk lain. Dikatakan bahwa ahimsa merupakan jantungnya disiplin yoga.

Buku pegangan yoga yang lain adalah naskah agung Hindu, Bhagavad Gita. Mempelajari karya ini merupakan harga tak ternilai bagi pelajar pemula.

Di bawah ini kami berikan penjabaran beberapa bentuk yoga yang terkenal, namun perlu diingat bahwa tiap-tiap sistem yang disebutkan di sini melibatkan banyak hal dalam hidup yang disiplin dan pelatihan yang teratur, lebih dari yang bisa diberikan dalam ulasan singkat ini.

Hatha Yoga

Kebanyakan yoga yang populer di dunia Barat adalah dua bentuk yoga, salah satunya dikenal dengan Hatha Yoga. Sistem ini memberi perhatian pada postur tubuh dan pengendalian pernafasan. Seringkali orang melupakan bahwa sistem ini juga melibatkan pelatihan meditasi. Jadi walaupun Hatha Yoga menitikberatkan pada pelatihan tubuh fisik, sesungguhnya pelatihan tadi adalah untuk memungkinkan tubuh merespons dorongan Kehadiran Ilahi dalam diri. Ketika tubuh didisiplinkan, tubuh tidak lagi gelisah, kegelisahan ini merupakan gangguan saat meditasi. Banyak praktisi menekankan nilai therapeutik (penyembuhan) dari Hatha Yoga, karena kalau dilatih dengan baik akan meningkatkan kesejahteraan fisik. Keadaan tubuh yang baik menunjang pertumbuhan
spiritual.

Mantra Yoga

Sistem Mantra Yoga sangat populer belakangan ini, dengan merapalkan (chanting) kalimat suci atau kata-kata pemujaan dan konsentrasi terpusat. Sistem ini melibatkan pengetahuan kekuatan okultik dari suara. Tujuan dari Mantra Yoga adalah menyelaraskan sifat pribadi dengan nada gelombang kesadaran yang jauh lebih tinggi dan lebih halus sifatnya dari kesadaran sehari-hari (kesadaran waktu kita bangun). Tujuan puncaknya adalah agar individu dapat “mendengar”
Suara Ilahi dalam-diri kita, bukan melalui telinga atau mekanisme fisik melainkan melalui indera super kita.

Bhakti Yoga

Bhakti Yoga adalah jalan pengabdian. Sistem ini menekankan cinta kasih, penyerahan-diri pada Spirit Ilahi atau Yang Tertinggi. Seringkali kita menemui personifikasi Yang Tertinggi dalam bentuk- bentuk tertentu pada individu yang mengambil jalan ini. Hal ini bisa berupa inkarnasi ilahi/avatar seperti halnya Kristus, Krishna, Baba, Babaji, ataupun gambaran mental dari Ilahi secara personal. Sistem ini sering disebut sebagai yoga Nasrani, tapi sistem ini juga kita
jumpai dalam berbagai agama dimana ditekankan penyerahan diri pribadi dan pengabdian sebagai tujuan ideal. Bhakti yoga adalah jalan yang telah menolong banyak orang dalam pendakian ke puncak gunung penyatuan spiritual. Seperti contoh yang diberikan oleh para santa- santo/para nabi/para maha rishi/para wali dimana untuk mendaki lebih tinggi ke arah Ilahi, maka kehidupan pribadi harus diserahkan pada Kehidupan Ilahi secara mutlak. Oleh karenanya jalan ini adalah jalan yang tepat bagi orang-orang yang bersifat pengabdi/bhakti, yang dengan gembira melenyapkan diri mereka pada Yang Maha Tinggi.

Karma Yoga

Sesuai dengan namanya, yoga ini melibatkan karma (=tindakan). Tujuan dari Karma Yoga adalah mencapai persatuan dengan Yang Maha Tinggi melalui tindakan yang benar, yaitu tindakan yang dilakukan apa adanya tanpa mengharapkan imbalan (selfless service). Ini adalah jalan bagi mereka yang digerakkan oleh rasa simpati, dan welas-asih terhadap orang-orang yang menderita. Jalan ini adalah bagi mereka yang dengan semangat berusaha meringankan beban penderitaan dan
kesedihan orang lain. Jalan ini menekankan kemurnian motif tanpa dinodai oleh kepentingan pribadi. Melalui tindakan altruistik, pengikut Karma Yoga akan sampai pada pemahaman kehidupan yang lebih mendalam dan menjadi lebih dekat dengan Kehidupan Ilahi yang dijumpaipada semua makhluk.

Jnana Yoga

Kalau Bhakti Yoga menggunakan jalan pengabdian dan Karma Yoga menggunakan jalan tindakan, maka ada juga jalan lewat ilmu pengetahuan Jalan ini dikenal engan sebutan Jnana Yoga (sering dieja “Gnana”); tujuannya adalah untuk mewujudkan kebenaran hidup. Kata “jnana” terdengar familier, mirip dengan kata “gnosis”. Arti kedua kata tersebut sama yaitu pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud di sini bukannya pengetahuan external tentang benda-benda melainkan pengetahuan alam realitas. Guru agung Jnana Yoga, Shankaracharya, si bijak dari India, menuliskan karyanya yang berjudul “Viveka Chudamani”. Karyanya ini telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Secara harafiah berarti “permata puncak dari diskriminasi” namun viveka dapat juga berarti “insight” atau bahkan “kebijaksanaan”. Svami Shankaracharya membedakan antara mereka yang ingin memiliki dan mereka yang ingin mengetahui. Di puncaknya hanya ada satu hal untuk diketahui yaitu sang Diri Tunggal yang identik dengan Tuhan, Alloh, Causa Prima atau Brahman, sebagai satu-satunya Sumber segala bentuk
keberadaan, seperti yang dikenal dalam filsafat Vedanta, yang menjadi dasar dari Jnana Yoga.

Raja Yoga

Terkadang disebut sebagai bentuk yoga yang paling tinggi, Raja Yoga – The Science of The Kings/Ilmu para raja – menggabungkan aspek-aspek utama dari sistem yoga lainnya. Jalan ini menggunakan disiplin dan pelatihan untuk memurnikan emosi, meluaskan intelek dan mengendalikan tiap komponen hakikat kita dibawah kehendak (will). Tujuan yoga ini adalah mengurangi dan akhirnya menghilangkan identifikasi dengan personalitas sehingga timbul kesadaran bahwa Diri Kekal kita itu identik dengan Hidup Ilahi Yang Tunggal.

Azas Raja Yoga dapat kita jumpai dalam aphorisme/perumpamaan (”sutra”) dari Patanjali, yang karyanya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris lengkap dengan komentar dan ulasan.Dalam perumpamaan Patanjali terdapat langkah-langkah untuk mempersiapkan diri pada yoga sejati berikut dengan latihan-latihannya. Untuk mempersiapkan diri, kita harus bertindak benar dalam pikiran, perkataan dan perbuatan; menjalankan kehidupan moral, dan mengekspresikan prinsip-prinsip etis fundamental yang dijumpai di semua agama besar. Untuk melatihnya kita harus melakukan introspeksi-diri dengan teratur secara berkala;
caranya adalah dengan menutup kesadaran dari panca indera kita sehingga kesadaraan kita bisa bebas dari gangguan dunia untuk sementara waktu. Ini sesuai dengan tujuan Raja yoga agar kita mempersiapkan transisi dari kesadaran eksternal menuju pada kesadaran internal.

Yoga & Meditasi

Meditasi merupakan bagian penting di setiap bentuk yoga. Patanjali menekankan pentingnya pengendalian pikiran dan penenangan untuk mencapai transendensi pikiran, lewat Raja yoga, Patanjali meramunya dalam 3 langkah: konsentrasi, meditasi dan kontemplasi. Pada prakteknya 3 langkah ini saling tumpang tindih tapi dalam yoga sutra sengaja dituliskan terpisah untuk memudahkan studi.

Yoga dimulai dengan konsentrasi. Mengapa? Karena pikiran kita selalu bergerak, liar dan tidak mau tinggal diam. Pikiran kita dipenuhi dengan berbagai kenangan, memory dan berbagai keinginan untuk menjadi atau untuk memiliki; pikiran sangat mudah terganggu oleh hal-hal sepele. Oleh karena itu kita mulai dengan berkonsentrasi pada hal-hal yang sederhana seperti misalnya sebuah benda atau sebuah gagasan, dan membiarkan konsentrasi kita pada benda tersebut semakin
intens terserap olehnya, dan kita menolak memberikan perhatian bagi hal-hal lainnya. Kalau pikiran mulai berkeliaran, dengan lembut kembalikan konsentrasi pada benda tersebut.

Setelah mampu menguasai konsentrasi, langkah selanjutnya adalah meditasi. Meditasi dijabarkan sebagai aliran pikiran yang teratur dan terus-menerus terhadap sebuah obyek, misalnya sebuah bunga, salib, cakra, nafas, atau kualitas yang tidak dapat terlihat (misalnya, nama baik seorang Guru Agung/kata-kata Ilahiah lainnya), gagasan abstrak, atau objek lainnya yang kita pilih sendiri. Proses ini lebih mendalam dari sekedar konsentrasi dan mengarah menuju keadaan dimana kita masuk menyadari bahkan menjadi apa yang kita pikirkan dan konsentrasikan tadi. Ini melibatkan upaya menembus imaji dan bentuk untuk dapat mengidentifikasikan diri dengan kehidupan dalam obyek yang dipilih tadi.

Selanjutnya diikuti dengan proses kontemplasi. Dalam tahap ini kita tidak lagi tertarik pada sebiah obyek, sebuah gagasan atau seseorang, tetapi kita membawa pikiran kita pada keadaan ketenangan absolut. Harus diperhatikan bahwa keadaan ini bukanlah keadaan pasif melainkan keadaan dengan kesadaran positif; sebuah ketenangan yang memberikan perasaan utuh dan kedamaian yang dinamis. Keadaan ini tidak melampaui kesadaran, namun mentransformasi individu, dan
memberikan ketenangan sejati serta kepastian-dalam yang secara praktis akan banyak membantu kehidupan kita sehari-hari. Dalam tahap kontemplasi ini, amat mungkin kita mencapai pencerahan dan insight dari Diri Spiritual dan perasaan menyebar akan kesatuan kehidupan akan terwujudkan.

Tujuan Yoga

Semua bentuk disiplin/sistem Yoga merupakan jalan yang mengarahkan indivdu mencapai persatuan dengan Atman/Spirit Tertinggi. Persatuan ini disebut “Samadhi” dalam naskah-naskah yoga, “Kesadaran Krishna” dalam Krishna Consciousness Movement, “Satori” dalam Zen Buddhisme, “Kesadaran Kristus” dalam mistisisme Nasrani, “Manunggaling Kawula Gusti” dalam Kejawen, dll. Apapun juga istilah yang digunakan hal ini berarti pembebasan spirit individual dari kesadaran sehari-hari dan Memasuki getaran-kebahagiaan Sang Sumber yang dilambangkan secara indah lewat kalimat, “Sang butir embun telah pulang pada lautan cahaya yang bersinar”.

BAHAN BACAAN LANJUTAN YANG DISARANKAN

o An Introduction to Yoga by Annie Bessant
o Seven Schools of Yoga by Ernest Wood
o Application of Yoga to Daily Life by Ianthe Hoskins
o Raja Yoga: A Simplified Course by Wallace Slater
o Hatha Yoga: A Simplified Course by Wallace Slater
o Integral Yoga by Haridas Chaudhuri
o The Science of Yoga by I.K. Taimni
o A Student’s Companion to Patanjali by Roger Worthington
o Yoga: The Art of Integration by Rohit Mehta
o The Universal Yoga Tradition by Radha Burnier
o Initiation into Yoga by Sri Krishna Prem
o A History of Yoga by Vivian Worthington
o Yoga: The Technology of Ecstasy by George Feurstein
o Viveka Chudamani translated by Mohini M Chatterji
o The Pinnacle of Indian Thought by Ernest Wood

Sejarah Bali

Sejarah Bali

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

 

Sejarah Bali meliputi rentang waktu perkembangan kebudayaan masyarakat Bali. Sejarah Bali juga terkait dengan beberapa mitologi dan cerita rakyat, yang ada kaitannya dengan sejarah sebuah tempat atau peristiwa yang pernah ada di Bali.

Daftar isi

Masa Prasejarah

Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.

Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama G.E Rumphius, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, desa Trunyan, Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba desa Tegallalang.

Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. Van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :

  1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
  2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
  3. Masa bercocok tanam
  4. Masa perundagian

Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana

Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di desa Sambiran (Buleleng Timur), dan ditepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani) alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di museum Gedung Arca di Bedahulu Gianyar.

Kehidupan penduduk pada masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya. Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu sama lainnya.

Walaupun bukti-bukti yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan di daerah Pacitan dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.

Masa Berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut

Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Goa ini terletak di Pegunungan gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana.Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari tulang. Diantara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.

Alat-alat semacam ini ditemukan pula di goa-goa Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding goa , yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya. Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga diantaranya adalah lukisan kadal seperti yang terdapat di pulau Seram dan Irian Jaya, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku.

Masa bercocok tanam

Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.

Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine Geldern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.

Masa Perundagian

Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian.

 

Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian.

Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting diantaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Jawa Barat), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongolaid yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras.Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian diantaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyer Jawa Barat, Sabang (Sulawesi Selatan), Selayar, Roti dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di desa Trunyan. Di Pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di desa Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Diantaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di desa Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.

Masuknya Agama Hindu

Gua Gajah (sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali.

Gua Gajah (sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali.

Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata “Walidwipa”. Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.

Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882 Masehi–-914 Masehi badan ini disebut dengan istilah “panglapuan”. Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah “pakiran-kiran i jro makabaihan”. Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.

Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.

Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (SiwaBuddha) sebagai pembantu raja.

Masa 1343-1846

Masa ini dimulai dengan kedatangan ekspedisi Gajah Mada pada tahun 1343.

Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada

Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang Arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga.

Zaman Gelgel

Karena ketidakcakapan Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan ke Gelgel. Pada saat inilah dimulai zaman Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460–1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga beliau dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh Dalem Bekung (1550–1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605–1686).

Zaman Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (17101775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.

Kerajaan-kerajaan pecahan Klungkung
  1. Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
  2. Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
  3. Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
  4. Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
  5. Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
  6. Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
  7. Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.

Masa 1846-1949

Perlawanan Terhadap Orang-Orang Belanda

Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perang Buleleng (1846) 2. Perang Jagaraga (1848–1849) 3. Perang Kusamba (1849) 4. Perang Banjar (1868) 5. Puputan Badung (1906) 6. Puputan Klungkung (1908) Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.

Zaman Penjajahan Belanda

Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali.

Struktur pemerintahan di Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan golongan kaya.

Lahirnya Organisasi Pergerakan

Akibat pengaruh pendidikan yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama “Suita Gama Tirta” yang bertujuan untuk memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama. Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih haus dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama “Shanti” pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah yang bernama “Shanti Adnyana” yang kemudian berubah menjadi “Bali Adnyana”.

Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama “Suryakanta” dan memiliki sebuah majalah yang diberi nama “Suryakanta”. Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama “Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok” yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studie fons.

Zaman Pendudukan Jepang

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil.

Karena selama pendudukan Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya disesuaikan dengan PETA di Jawa.

Zaman Kemerdekaan

Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan ibu kotanya Singaraja.

Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI mengunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, MBO sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak pejuang Bali tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh rakyat.

Untuk memudahkan kontak dengan Jawa, Rai pernah mengambil siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28 Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan sebutan “Long March”. Selama diadakan “Long March” itu pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat.

Puputan Margarana

Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi Nica ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makasar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan “Puputan” sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.

Konferensi Denpasar

Pada tanggal 18 sampai 24 Desember 1946, Konferensi denpasar berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu dibuka oleh Van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makasar (Ujung Pandang).

Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah adalah kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di atas raja, yaitu dewan raja-raja.

Penyerahan Kedaulatan

Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarakan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil.

Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni Indonesia – Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masa 1949-2007

Pada 12 Oktober 2002, terjadi pengeboman di daerah Kuta yang menyebabkan sekitar 202 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Sebagian besar korban meninggal adalah warga Australia.

 

Technorati Tags: ,

Bhagavad Gita

Bhagavad Gita, artinya adalah Nyanyian sang Bagawan (orang suci). Bhagawad Gita merupakan bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini sang Krishna adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafatnya kepada sang Arjuna yang menjadi pendengarnya.

Adegan ini terjadi pada permulaan Bharatayuddha. Saat itu Arjuna berdiri di atas bukit dan memandang ke bawah, ke tempat seberang di mana berada para Korawa dan sekutu-sekutu mereka. Arjuna harus memerangi mereka semua, tetapi ia dilanda kesedihan. Karena meskipun mereka pernah berbuat jahat terhadapnya, mereka tetap saudara-saudari dan teman-temannya yang dia kenal sejak kecil. Lalu ia diberi wejangan dan nasihat-nasihat oleh Krishna yang berlaku sebagai kusir keretanya Arjuna.

Penulis Bhagavad Gita tidaklah dikenal, tetapi yang jelas bukanlah Vyasa yang dikatakan menggubah Mahabharata itu. Apa yang boleh dikatakan mengenai penulis Bhagawad Gita, ialah bahwa ia pasti seorang brahmana dan juga seorang waisnawa, atau pemuja Batara Vishnu. Selain itu ia adalah seorang filsuf yang sangat pandai dan besar daya imajinasinya.

Bhagavad Gita ini dikatakan mendapat pengaruh dari keenam aliran Hindu atau saddarsana, terutama dari aliran Samkhya, Yoga dan Wedanta. Para pakar berpendapat bahwa syair ini ditulis kurang lebih pada abad ke dua atau ketiga Masehi.

Orang Jawa Kuna dan Bali sudah mengenal Bhagawad Gita kerana hubungan dengan India dan pengaruh agama Hindu pada masa dahulu.

***

Kitab Bhagavad Gita ini terdiri dari 18 bagian:

Bagian pertama menguraikan kekhawatiran Arjuna
Bagian kedua menguraikan yoga dan samkhya
Bagian ketiga menguraikan pencapaian yoga karena usaha
Bagian keempat menguraikan pencapaian yoga karena hikmat
Bagian kelima menguraikan pencapaian yoga karena prihatin
Bagian keenam menguraikan pencapaian yoga karena adhyatma
Bagian ketujuh menguraikan pencapaian yoga karena budi
Bagian kedelapan menguraikan beryoga sampai ke Dewa Abadi
Bagian kesembilan menguraikan mencari yoga dengan raja ilmu dan raja rahasia
Bagian kesepuluh menguraikan yoga mahakuasa
Bagian kesebelas menguraikan menuntut yoga dengan memandang bangun alam
Bagian keduabelas menguraikan mencapai yoga dengan bhakti
Bagian ketigabelas menguraikan mencapai yoga dengan memisah padang dan penghuni padang
Bagian keempatbelas menguraikan mencapai yoga dengan memisahkan kepala bagian tiga
Bagian kelimabelas menguraikan beryoga pada Dewa Tinggi
Bagian keenambelas menguraikan beryoga dengan memisahkan bagian sorga dan non-sorga
Bagian ketujuhbelas menguraikan kepercayaan yang ketiga
Bagian kedelapanbelas menguraikan beryoga karena kebebasan berpaling

Berikut ini ikhtisar Bhagavad Gita yang saya dapatkan dari seorang teman:

1. Bab Pertama Bhagavad Gita memaparkan situasi dari sebuah koflik-melingkar dari keadaan-keadaan padamana Arjuna terlibat, sehingga ia tidak bisa sampai pada suatu keputusan-benar manapun sehubungan dengan tugas dan kewajibannya. Secara insidental, ini merupakan suatu penggambaran dari situasi manusia secara umum, dimana sebentuk ketidak-mampuan untuk menilai dengan tidak berat- sebelah mengantarkan pada ketidak-percaya-dirian dan keraguan terhadap manfaat dan signifikansi dari tindakan manusia.

2. Bab Kedua menunjukkan bahwa munculnya problema-problema kehidupan disebabkan oleh kekurangan pemahaman yang memadai terhadap persoalan yang ada, yang disebut Samkhya. Disini pemahaman yang benar berarti pengetahuan tentang hubungan yang memadai antara manusia dengan dunia dan realitas secara umum.

3. Bab Ketiga memerinci kesalahan dari penempatan-diri di luar totalitas penciptaan, yang menundukkan tujuan dari setiap bentuk usaha. Manusia di dalam, dunia di luar, dan Prinsip Devata Tertinggi di atas, ditarik kembali ke dalam kebersamaan, yang merupakan prinsip dari pemahaman yang benar. Aplikasi dari pengetahuan sejati ini di dalam kehidupan, adalah Karma Yoga.

4. Bab Keempat menyajikan sebuah pelipur-lara spesial bagi para pejuang, melalui pesannya akan kehadiran tangan-tangan Tuhan pada setiap persimpangan dan krisis dalam kehidupan, tangan-tangan yang bekerja secara rahasia dalam berbagai bentuk inkarnasi supra-normal yang berbeda-beda, atau para Avatara. Disini juga dipaparkan metode- metode pengendalian-diri dan pengorbanan-diri tertentu.

5. Bab Kelima membahas keadaan pelepasan keterikatan (renunciation) yang berevolusi secara alamiah dari pendalaman luhur (great insight) yang dipaparkan dalam bab sebelumnya, dan kehidupan yang tanpa keterikatan yang merupakan kehidupan kerohanian yang cerah di dalam semangat Sannyasa sejati, yang dipahami sebagai pelepasan keterikatan terhadap pola kehidupan salah, dimana rujukannya telah disediakan di dalam Bab Tiga.

6. Bab Keenam khususnya menekankan pada seni dan teknik dari integrasi-diri dengan cara Dhyana, atau meditasi. Disini juga diberikan lagi pesan yang menyejukkan, dimana dikatakan bahwa `usaha yang benar tak akan sia-sia; dan kendati karena sesuatu hal ia yang sempat berkenalan dengan yoga ini meninggal sebelum mencapai tujuan akhirnya, pasti akan dilahirkan di dalam suatu keadaan-keadaan yang sedemikian rupa sesuai guna melanjutkan latihan-latihannya yang sebelumnya’.

7. Bab Ketujuh langsung meloncat membahas tentang Yang Universal, dari paparan tentang semua teknik-teknik dan disiplin- disiplin yang sudah dipaparkan dalam keenam bab sebelumnya. Bab ini diawali dengan sebuah pernyataan singkat dan padat tentang kosmologi, untuk kemudian diantarkan pada penggambaran aspek Tuhan sebagai Pencipta Semesta Raya. Mulai bab ini dan selanjutnya, prinsip Ketuhanan merupakan topik bahasan yang sangat menyolok.

8. Bab Kedelapan merupakan suatu wacana langsung tentang tata kosmis di dalam suatu rincian yang luas, mengedepankan hubungan yang melibatkan prinsip Tuhan, dunia dan individu. Disini tentunya juga dipaparkan kepastian bahwasanya jiwa melampaui kefanaan dari dunia ini.

9. Bab Kesembilan secara praktis merupakan suatu pernyataan yang merangsang kesadaran religius sejati, suatu diskripsi dari agama universal yang memandang Tuhan sebagai Prinsip Pemersatu mengatasi semua hal, yang dapat didekati oleh siapapun melalui kebaktian yang jujur dan tulus dan rasa bersatu. Disini ada janji abadi dari Tuhan untuk menyertai manusia pada setiap momen, hanya jika manusia cukup jujur menerima supremasi dari Yang Mahakuasa.

10. Bab Kesepuluh masih menyelam lebih dalam lagi ke dalam berbagai cara, padamana `Yang Tunggal’ tampak sebagai `yang banyak’ di dalam manifestasi-Nya yang sangat unggul, khususnya di dalam wujud-wujud agung dari kekuatan dan kemegahan-Nya, di dalam pewahyuan-pewahyuan pengetahuan dan tindakan-tindakan yang di luar jangkauan manusia. Di dalam manifestasi-manifestasi seperti itulah kehadiran Tuhan akan ditemukan.

11. Bab Kesebelas adalah pencapaian dari suatu klimaks dari pengalaman spiritual, dimana di dalamnya disajikan suatu Visi Total dari Prinsip Pemimpin Yang Tiada Terbatas, sebagai Makhluk Suprima, dipaparkan dengan megah. Ini merupakan Kidung Dewata dari ekstase spiritual dan visi-Tuhan, sebuah epos dan puisi agung.

12. Bab Keduabelas masuk ke dalam isu-isu praktis yang tercakup di dalamnya yang membawa manusia kepada Tuhan—seperti: pelayanan tanpa pamerih dan pelaksanaan kewajiban, suatu gairah kesujudan kepada Tuhan, suatu konsentrasi yang selalu intens terhadap Hyang Pencipta Suprima, dan suatu pengenalan terhadap kemaha-hadiran yang kekal-abadi dari Yang Mahakuasa—sebagai beberapa cara pendekatan manusia kepada Tuhan. Disini jugalah dipaparkan karakteristik- karakteristik yang sesuai bagi seorang penyembah sejati, lewat keempat aspek dari Yoga —yoga tindakan, yoga kesujudan, yoga konsentrasi dan pengendalian-diri serta yoga pengetahuan.

13. Bab Ketigabelas mengambil bahasan dualitas Purusha dan Prakriti, atau Kesadaran dan Materi, seperti yang terbayangkan dalam pengalaman manusia biasa dan pemikiran rasional. Akan tetapi pesan yang disampaikan disini mengatasi kedua prinsip itu dan menjembatani teluk antara tampakan dualitas ini dengan memperkenalkan suatu Kedewataan Transenden yang berada di atas kedua sisi subjektif dan objektif kehidupan.

14. Bab Keempatbelas diwacanakan—dalam suatu cara filosofis— unsur-unsur dasar dari Alam sebagai keseluruhan, yang tersusun dari sifat-sifat Sattvam, Rajas dan Tamas—kekuatan daya penyeimbang, kekuatan tindakan, dan kekuatan inersia, di dalam mana, lagi-lagi, ditegaskan Kehadiran Tuhan di atas segalanya dalam penekanan yang berbeda.

15. Bab Kelimabelas merupakan sebuah paparan dari seluruh ciptaan yang bagaikan sebuah pohon-terbalik yang akarnya di atas— pada Yang Absolut Transenden—dan manifestasi-manifestasi sebagai ciptaan-ciptaan yang beraneka-ragam turun ke bawah sebagai dahan- dahan, cabang-cabang, ranting-ranting, daun-daun, bunga-bunga dan buah-buahnya. Maksud dari puja-puji itu adalah, bahwa Prinsip Kreatif Dewata hadir dimana-mana sebagai kekuatan pengendali suprima imanen, sama halnya dengan getah atau vitalitas dari si pohon yang menyusupi setiap selnya, dari atas sampai ke bawah. Makanya, jenis- jenisnya tidak bisa dimengerti kecuali dalam kerangka Kesatuan Ultima.

16. Bab Keenambelas membabarkan tindakan dari kekuatan-kekuatan ganda dari Kedewataan dan keasuraan, enerji-enerji yang cenderung mengarahkan dirinya ke Pusat dan juga yang menariknya mengarah ke kulit-luar dari semesta objektif. Clash yang terjadi di antara kedua kekuatan ini menjadi tema sentral dari semua Epos dunia, termasuk Mahabharata, yang tiada lain adalah aksi konflik antara yang universal dengan impuls-impuls temporal.

17. Bab Ketujubelas, lagi, merupakan suatu wejangan praktis tentang metode-metode tertentu yang bermanfaat bagi praktek kehidupan sehari-hari, berkaitan dengan disiplin tubuh, ucapan dan pikiran, dalam berbagai formasi-formasi dan deviasi-deviasinya.

18. Bab Kedelapanbelas adalah suatu rangkuman dari seluruh pesan- pesan luhur kedewataan dari Bhagavad Gita, dimana prinsip-prinsip tindakan yang benar, kesujudan luhur, konsentrasi dalam Yoga, dan suatu pemeliharaan terus-menerus terhadap suatu kesadaran akan universalitas Tuhan, terpaparkan dengan cantiknya, disertai suatu kesimpulan sang Guru bahwasanya, `dimanapun Krishna dan Arjuna bertindak serentak, duduk dalam sebuah kereta—yang dimaksudkan, dimana Tuhan dan manusia ada dalam suatu persatuan kekal-abadi dan bertindak—maka disana akan ada kesejahteraan, kemenangan, dan suatu prinsip mantap yang kokoh dalam kebenaran di dalam segala lapangan kehidupan.

Gayatri Mantram

ॐ भूर्भुवस्वः ।
तत् सवितुर्वरेण्यं ।
भर्गो देवस्य धीमहि ।
धियो यो नः प्रचोदयात् ॥

Oṃ Bhūr Bhuvaḥ Svaḥ
Tát Savitúr Váreniyaṃ
Bhárgo Devásya Dhīmahi
Dhíyo Yó Naḥ Pracodáyāt

Meaning of the individual:

Om: The primeval sound
Bhur: the physical world
Bhuvah: the mental world
Suvah: the celestial, spiritual world
Thath: That; God; transcendental Paramatma
Savithur: the Sun, Creator, Preserver
Varenyam: most adorable, enchanting
Bhargo: luster, effulgence
Devasya: resplendent,supreme Lord
Dheemahi: we meditate upon
Dhiyo: the intellect,understanding
Yo: May this light
Nah: our
Prachodayath: enlighten,guide,inspire

Other translations, circumlocutions and interpretations:
“O God, Thou art the giver of life, the remover of pain and sorrow, the bestower of happiness; O Creator of the Universe, may we receive Thy supreme, sin destroying light; may Thou guide our intellect in the right direction.”

Terjemahan dan interpretasi dalam bahasa Indonesia:
“OM Hyang Widi yang menguasai ketiga bhuana ini, Dikau maha suci, sumber segala kehidupan, serta sumber segala cahaya, terangilah budi nurani kami dengan cahayaMU yang maha suci”.